Dalam dunia perpajakan korporasi, garis batas antara biaya usaha yang sah dan pembagian keuntungan seringkali menjadi medan pertempuran yang sengit. Inilah yang dialami oleh PT AAC, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berbasis di Sanggau, Kalimantan Barat. Mereka harus berhadapan dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam sebuah sengketa yang mempertanyakan esensi dari transaksi bisnis mereka dengan perusahaan afiliasi.
Kisah ini bermula ketika Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sanggau melakukan pemeriksaan pajak. Pada Agustus 2022, fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk PPh Pasal 23 Masa Pajak April 2020.
Inti masalahnya sederhana namun berdampak besar: Fiskus tidak mengakui pembayaran "Jasa Manajemen" yang dilakukan PT Agro Abadi Cemerlang kepada perusahaan afiliasinya, PT Genting Plantations Nusantara (GPN).
Menurut kacamata fiskus, pembayaran senilai ratusan juta rupiah tersebut dianggap tidak memiliki bukti eksistensi jasa yang kuat. Akibatnya, fiskus menganggap uang yang keluar itu bukanlah biaya jasa manajemen (yang tarif pajaknya 2%), melainkan sebuah Dividen Terselubung. Konsekuensinya? Tarif pajak melonjak drastis dari 2% menjadi 15%, menimbulkan kurang bayar pajak yang signifikan.
Dalam persidangan, Terbanding (DJP) melancarkan argumen yang tajam. Mereka bersikeras bahwa PT AAC gagal membuktikan bahwa jasa manajemen tersebut benar-benar dilakukan (rendered).
Fiskus menyoroti beberapa hal:
PT AAC tidak tinggal diam. Mereka membawa bukti-bukti ke meja hijau untuk mematahkan tuduhan "dividen terselubung" tersebut.
Mereka menjelaskan bahwa sebagai perusahaan perkebunan, mereka membutuhkan dukungan operasional yang disediakan oleh GPN berdasarkan perjanjian kontrak yang sah sejak 2017. Jasa yang diberikan bukanlah fiktif, melainkan mencakup hal-hal krusial seperti:
Kuasa Hukum PT AAC menegaskan bahwa transaksi ini wajar (arm's length principle) dan memberikan manfaat ekonomi nyata bagi operasional kebun di Kalimantan Barat. Mereka berargumen bahwa menuduh pembayaran ini sebagai dividen adalah keliru karena PT GPN bukanlah pemegang saham PT AAC.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memeriksa sengketa ini dengan teliti. Kunci kemenangan PT Agro terletak pada konsistensi dan pembuktian eksistensi.
Hakim menemukan fakta menarik: Sengketa PPh 23 ini sejatinya "menumpang" pada sengketa utama di PPh Badan tahun 2020. Dalam sengketa PPh Badan yang diperiksa secara terpisah, Majelis Hakim telah memutuskan bahwa biaya jasa manajemen tersebut terbukti eksistensinya dan boleh dibiayakan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Hakim berpendapat bahwa:
Pada akhirnya, palu hakim diketuk memenangkan PT AAC. Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya banding yang diajukan.
Keputusan DJP yang mengubah jasa manajemen menjadi dividen dibatalkan. Status transaksi dikembalikan sebagai Jasa Manajemen dengan tarif PPh 23 sebesar 2%, bukan 15%. Dengan demikian, tagihan pajak kurang bayar yang semula disengketakan kini menjadi Nihil.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini